Senin, 21 November 2011

laporan kritik sastra


Dari beberapa sumber yang di dapat, penulis dapat menyimpulkan bahwa :
1.      HAKEKAT KRITIK SASTRA
a.        Pengertian Kritik Sastra
Secara etimologis, kata kritik berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata krinein (menghakimi, membanding, menimbang). Kata krinein menjadi bentuk dasar bagi kata kreterion (dasar, pertimbangan, penghakiman). Orang yang melakukan pertimbangan/penghakiman disebut krites yang berarti hakim. Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik.
Secara harafiah, kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistemik
b.      Jenis Kritik Sastra
Menurut bentuk
a.       Kritik Teoritis
Kritik sastra yang berusaha (bekerja) atas dasar prinsip-prinsip umum untuk menetapkan seperangkat istilah yang berhubungan, pembedaan-pembedaan, dan kategori-kategori, untuk diterapkan pada pertimbangan-pertimbangan dan interpretasi-interpretasi karya sastra maupun penerapan “kriteria” (standar atau norma) untuk menilai karya sastra dan pengarangnya.

b.      Kritik Terapan
Merupakan diskusi karya sastra tertentu dan penulis-penulisnya. Misalnya buku “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei” Jilid II (1962) dikritik sastrawan-sastrawan dan karyanya, diantaranya Mohammad Ali, Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardoyo, dan lain sebagainya

Berdasarkan Pelaksanaan
1.      Kritik Judisial
Adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya, dan mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individu kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan sastra
2.      Kritik Induktif
Adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya, dan mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individu kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan sastra


3.      Kritik Impresionistik
Adalah kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata, sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra dan menyatakan tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra.

Berdasarkan Orientasi Terhadap Karya Sastra
a.       Mimetic criticism
Kritik yang bertolak pada pandangan bahwa karya sastra merupakan tiruan atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Kritik ini cenderung mengukur kemampuan suatu karya sastra dalam menangkap gambaran kehidupan yang dijadikan suatu objek

b.      Pragmatic criticism
Kritik yang disusun berdasrkan pandangan bahwa sebuah karya sastra disusun untuk mencapai efek-efek tertentu kepada pembaca, seperti efek kesenangan, estetika, pendidikan, dan sebagainya. Model kritik ini cenderung memberikan penilaian terhadap suatu karya berdasarkan ukuran keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut.

c.       Expresive criticism
Kritik yang menekankan kepada kebolehan pengarang dalam mengekspresikan atau mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra. Kritik ini cenderung menimbang karya sastra dengan memperlihatkan kemampuan pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara sadar atau tidak tercermin pada karya tersebut.

d.      Objective criticism
Suatu kritik sastra yang menggunakan pendekatan bahwa suatu karya sastra adalah karya yang mandiri. Kritik ini menekankan pada unsur intrinsik.

c.       Fungsi Kritik Sastra
1.      Pembinaan dan Pengembangan Sastra
Dengan kritikan yang ada, sastrawan dapat belajar untuk dapat meningkatkan kecakapannya ataupun mempertimbangkan untuk memperluas daerah garapannya.  Dengan begitu, kesusastraan akan dapat berkembang, baik corak, gaya, maupun mutunya.

2.      Pembinaan Kebudayaan dan Apresiasi Seni
Dalam mengeritik, para kritikus menunjukkan daerah-daerah gelap yang terdapat dalam suatu karya sastra secara lebih baik dan lebih bermakna, yang akhirnya dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra ke tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena kritikus menganalisis struktur sastra, memberi komentar dan interpretasi, menerangkan unsur-unsurnya, serta menunjukkan hal-hal yang tersirat dari semua yang tersurat.
3.      Menunjang Ilmu Sastra
Peran Kritikus Sastra
  Menjalankan disiplin pribadinya sebagai jawaban terhadap karya sastra tertentu. Berbeda dengan seorang estetikus, karena kritikus adalah orang yang terlatih kemampuannya dalam memisahkan hal-hal yang bersifat emosional dengan hal-hal yang rasional.
  Bertindak sebagai pendidik yang berupaya membina dan mengembangkan kejiwaan suatu masyarakat.
  Bertindak sebagai hakim yang bijaksana, yang dapat membangkitkan kesadaran serta menghidupkan suara hati nurani, pembinaan akl budi, ketajaman pikiran, dan kehalusan cita rasa.
Pengertian kritik sastra
Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”.[1]
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.[2]
Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
Pengertian kritik sastra di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena sampai saat ini, belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan mencari serta menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis.
Membaca secara mendalam keberagaman pengertian sastra yang tersuguh dari beberapa sumber yang diberikan sebagai tugas pemenuhan mata kuliah Naqd Adabi, terdapat sebuah gambaran dalam benak penulis, muncul sebuah matrikulasi wilayah sastra, yang sangat mudah untuk dihafalkan, dipahami dan dimengerti
TEORI-TEORI OBJEKTIF
  1. Strukturalisme
  2. New Criticism
  3. Deconstruksi dan Post-Strukralisme
Istilah Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti bentuk, wujud) berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis, ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya pada ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lainnya. Istilah Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk menyebut model pendekatan ini karena mereka memandang karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang utuh dan otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya.

Pelopor Struktural Formalis
  Kaum Formalis Rusia tahun 1915-1930 dengan tokoh-tokohnya seperti Roman Jakobson, Rene Wellek, Sjklovsky, Eichenhaum, dan Tynjanov
  Rene Wellek dan Roman Jakobson beremigrasi ke Amerika Serikat
  Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum Formalis.
Prinsip Dasar Struktural Formalis
  Prinsip keseluruhan (wholness) bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
  Prinsip transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru
  Prinsip keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasi, struktur itu otonom terhdap rujukan sistem lain
  Aspek-aspek dalam sebuah kritik sastra meliputi: informasi; analisis; interpretasi; dan penilaian. Misalnya saja dalam esai “Sastra yang Tidur dalam Kulkas” karya Saut Situmorang adalah sebuah kritik sastra. karena dalam tulisan tersebut sudah terdapat aspek-aspek di atas. Untuk lebih jelasnya akan di bahas dalam pembahasan di bawah ini.
Informasi: ini terlihat pada paragraf pertama. Yang berisi; ”Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul ”Persahabatan Dengan Seekor Anjing” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul ”Dobrak Kultus, Menjadikan ‘Merek Dagang’”(Media, 02/02/03).
Analisis: ini dimulai pada pragraf ke dua sampai paragraf lima. Yang berisi; Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada ”isi”, maka pengajar/dosen sebuah universitas di Belanda Suryadi malah merasa ”letih oleh debat antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ karya sastra” dan menganjurkan agar ”meningkatkan gengsi karya sastra (Indonesia) di mata pembacanya” dengan melakukan populerisasi karya sastra, paling tidak, lewat promosi dunia pariwisata! Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par excellence masih menganggap ”isi” puisinya penting sementara seorang akademisi, yang seharusnya menghasilkan kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan ”gengsi” sastra
Interpretasi: ini terlihat pada paragraf yang ke enam. Yang berisi; Kalau asensi Suryadi memang benar bahwa sastra Indonesia itu rendah ”gengsi”nya di mata pembacanya, seperti pembaca bernama Suryadi sendiri, maka bukankah ”faktor X yang sah-sah saja” bagi dia itu, yaitu politik sastra komunitas yang eksklusif itu, justru hanya akan memperparah jatuhnya ”gengsi” sastra Indonesia? Kebebasan pembaca untuk menilai karya yang dibacanya sudah sangat dipengaruhi bukan oleh, paling tidak, resensi atas karya tersebut di media massa tapi oleh kampanye iklan dalam bentuk puja-puji setinggi langit yang dilakukan para politikus sastra komunitas sastrawan yang bersangkutan. Bukankah Nur Zain Hae sendiri pun mengakui realitas politik sastra komunitas ini dalam esainya ”Isu Lama Untuk Pusat Baru” (”... bukan sekedar saling menggaruk punggung, seperti yang selama ini terjadi di Komunitas Utan Kayu.”) (Media, 19/01/03)!
Penilaian: ini terlihat pada paragraf terakhir. Yang berisi; Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel, begitu pula cerpen. Dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra yang impoten, sastra yang frigid, sastra yang tidur dalam kulkas. Mudah-mudahan tetap awet sampai kritik sastra datang dari Planet Pluto sana untuk menghangatkannya, menggairahkannya lagi.
Kritik sastra “Sastra yang tidur di dalam kulkas” termasuk dalam jenis: Menurut bentuknya termasuk kedalam kritik sastra terapan, karena penulis menerapkan teori-teori yang ada dalam kritik sastra tersebut secara eksplisit. Menurut pelaksanaannya termasuk ke dalam kritik sastra inpresionistik, karena penulis melakukan analisis, interpretasi dan penilaian, berangkat dari fenomena-fenomena yang ada dalam karya itu secara objektif. Menurut orientasi kritik termasuk ke dalam kritik sastra ekspresif, karena di sini penulis menimbang karya sastra tersebut berdasarkan kecocokan dalam jiwa dan pikirannya. Menurut objek kritik termasuk ke dalam kritik puisi: penulis di sini menganalisis sebuah puisi yang dianggapnya sebuah karya sastra yang mengarah kepada politik sastra. Menurut sifatnya termasuk kedalam kritik non-akademik, karena penulis tidak terpaku dalam suatu format seperti yang terdapat dalam petunjuk teknik penulisan ilmia
  Kritik sastra yaitu penilaian yang dilakukan untuk mengetahui baik buruknya suatu hasil karya sastra. Kegiatan kritik sastra lebih tua dari istilah kritik sastra. Alasannya,
1. Xenophanes dan Heraditus (500 SM) mengecam keras pujangga besar Homerus yang gemar mengisahkan cerita-cerita tidak senonoh serta bohong tentang dewi-dewi.
 Oleh Plato, peristiwa tersebut dinamakan Pertentangan purba antara puisi dan filsafat.ü
2.      Aristophanes (450 SM) lewat karya Katak-Katak mengadakan kritik terhadap penyair Tragedi Euripides yang terlampau menjunjung tinggi nilai kesenian dan kurang memerhatikan nilai-nilai social yang justru dijunjung tinggi oleh penyair tragedi terdahulunya, Aeschylus.
3.      Menurut Plato, ada tiga unsur dalam karya yang baik.
a. Memberi ajaran moral yang lebih tinggi,
b. Memberi kenikmatan,
c. Ketepatan dalam wujud pengungkapan.

Sumber ;
Baribin, Raminah. 1993. Kritik dan Peilaian. Semarang: IKIP Semarang Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar